Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia
muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya
kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat
beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa.
Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun
segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia
turun ke gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya.
Tubuhnya
yang mulia bergetar dengan keras dan beliau merasakan ketakutan dan
kegelisahan.
Apakah beliau kali ini
berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah
mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat
wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw
mengkhuatirkan dirinya kerana beliau sangat benci kepada perdukunan.
Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan gementar. Beliau berkata
kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!"
Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan
mengusap keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikejutkan
dengan kepucatan wajah beliau yang mulia dan kegementaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa
yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw menceritakan secara
terperinci apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata: "Sungguh
aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahawa ia
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira
yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang
seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhuatiran dan
kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud
untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT
tidak akan menghinakanmu selama- lamanya. Sungguh engkau adalah
seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara
dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut
penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw
juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bersama beliau ke rumah
Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah
seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan
ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya
telah buta kerana masa tua.
Khadijah berkata kepadanya:
"Wahai putera pamanku, dengarlah dari anak saudaramu."
Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?"
Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak kehairanan:
"Itu adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa."
Sebagai seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahawa ia
berada di hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan
oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat,
Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika kaummu
mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya:
"Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab:
"Benar, tidak ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu
kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya
aku hadir di saat itu nescaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun
dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah
memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang
pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam?
Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh
Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahawa para nabi semuanya
sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului
mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeza dalam esensinya dengan
Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang
lain, tetapi yang berbeza adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap
seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw berbeza dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa
nabi-nabi sebelumnya kerana sebab yang penting, yakni bahawa Islam
ini merupakan ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang
abadi. Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku
atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak
terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi
tertentu atau lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia
untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal
manusia di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau
waktu.
Universalitas
ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di
mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman
tertentu. Oleh kerana itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang
bersifat sementara seringkali mendukung risalah- risalah yang dahulu.
Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa
mukjizat yang mengagumkan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan
pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"'
(bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT.
Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Cuba Anda
renungkan permulaan pertumbuhan
dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika
Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan
rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia
Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak diketahuinya.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah
dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang
berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan
muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk apa
pun akan melahirkan rasa takut. Oleh kerana itu, dalam pandangan
Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya
perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan
dan mereka berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam
secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka
mereka kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk
daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam merupakan
tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah Nabi
Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Quran adalah bukan
semata-mata kisah kesalahan memakan pohon terlarang, tetapi ia juga
kisah yang memiliki dimensi- dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang
beraneka ragam. Ketika Anda menyelami kedalamannya, maka Anda akan
dapat menemukan simbol- simbol dari makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh
para malaikat tentang rahsia pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan
bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang diperoleh
Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau
mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta
ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam
untuk memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya serta
pengetahuan para malaikat tentang rahsia pemilihan Nabi Adam dan para
keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan dari
penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum.
Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)."
(QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita memahaminya
saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan
dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para
tenteranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahaman
yang sederhana. Kita mengetahui bahawa kalimat "untuk
menyembah-Ku " bererti ritual dalam beribadah dan aspek-aspek
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, solat, puasa,
haji, zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang solat
diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di
rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran
orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta
memanfaatkan ilmu dan kecanggihan teknologi orang-orang Barat. Namun
mereka sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat
memberikan kontribusi kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti
bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu
berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS.
adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa
liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui). Perhatikanlah bagaimana
pentingnya perbezaan antara praktek-praktek ibadah dengan
bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang
menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama
meyakini bahawa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang
pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia
semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al- Quran dan tangan yang
lain memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang
menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam
hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan
mereka justru mendapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah
menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam."
(QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah
kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka
disebutlah secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu.
Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada
penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeza dengan ilmu dalam
peradaban Barat. Memang benar bahawa Islam yang bertanggungjawab
terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana
berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian
melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode
eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang
mengikuti bahagian-bahagian terkecil (parsial) melalui jalan
eksperimen yang dapat tunduk terhadap eksperimen dan melalui jalan
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu
eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang membutuhkan
kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap
hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem
ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca indera dan akal.
Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun.
Ia mengakui bahawa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim dan
peradaban
Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll
dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang dasar-dasar
peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempelajari
bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya
yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun
tidak dapat menisbatkan keutamaan yang mereka peroleh dalam
menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger
Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh kerana itu, ia
tidak malu ketika menyatakan bahawa mempelajari bahasa Arab dan
ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan
pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan
sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka
mengetahui bahawa mereka sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya
berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahawa rahsia kebangkitan
Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada
pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu
metode Islam, maka rahsia kehancuran Barat dan kebingungannya serta
kegelisahannya adalah kerana mereka tidak menghubungkan metode
tersebut dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode
eksperimen-tal - sebagaimana diambil orang-orang Barat - dimulai dari
alam dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang
lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan
alat-alat pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada
setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahsia yang misteri
dan melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa
yang terjadi setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun
tentang roh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada
jawapan dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya
mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja.
Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar
alat dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya.
Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahawa gerakan atom
dengan gerakan sistem tata suria di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu
dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu
dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan
bahawasanya kepada Tuhanmu lah kesudahan (segala sesuatu). "
(QS. an-Najm: 42)
Ilmu
justru menghantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah
SWT sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam
datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut
kepada Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan
sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan.
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahawa tidak ada Tuhan
selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan
ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi
semuanya, baik tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan peribadi,
kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia,
warisan para datuk dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu
dan kayu, mahupun berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah
jika seseorang membayangkan bahawa kalimat "tiada Tuhan selain
Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala
sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak
membenarkan apa yang dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam
merupakan pergelutan besar bersama kegelapan yang ada pada diri
manusia, suatu pergelutan yang berakhir pada penyerahan diri;
pergelutan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih berat,
sehingga kehidupan akan berserah diri. Dan mustahil pergelutan itu
akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal
untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada
pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta kebebasan yang
meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kukuh. Itu adalah
tanggung jawab yang berarti bahawa ia harus memikul senjata untuk
membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas
kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah
terakhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yang jauh.
Jika
tauhid difahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari
penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut
dari kematian, kekhuatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari
sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad
bin Abdillah datang untuk menyerukan bahawa hanya Allah SWT yang
patut disembah dan bahawa semua manusia adalah hamba- hamba-Nya.
Dengan membebaskan manusia dari menyembah sesama mereka, maka
kebebasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu
bahawa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang
lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat
difahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut
kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari kematian itu sendiri,
dan cinta kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal. Pada setiap
ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari
unsur-unsur pembentukan keperibadian Islam dan bahagian dari
bahagian-bahagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan
bahawa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu
binatang melata pun di bumi melainkan Allah- lah yang memberi
rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul
saw bahawa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya sehingga rezekinya
disempurnakan. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi
manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari
esok. Semua ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui
jalan-jalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang
merupakan kewajipan bagi orang Muslim dan percaya terhadap kedermawan
Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajipan bagi orang Muslim untuk
mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat
(sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan
kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin rezeki
di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha mencapai rezeki di
akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin, sehingga
manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit untuk
mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang.
Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerintahkan
manusia untuk berusaha mencapainya kerana ia adalah rezeki yang Allah
SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil melampaui dua
jihad: jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar adalah
jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan musuh
di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim
dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam
memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia
memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di
muka bumi. Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS.
Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah
SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan kepada
Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan pentingnya
jihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar tidak terwujud
semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya kepada
punggung orang-orang Islam yang tidak solat; ia juga tidak berupa
usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah
itu lebih penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal
yang bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah
tidak diperhatikan.
Ayat tersebut berarti, hendaklah
seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan Allah SWT serta
memerangi orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai
manusia, kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat
itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan
aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika
masyarakat melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya,
maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran
Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas ertinya. Yakni bahawa
pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanya jihad di
jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk
menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim
dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan
berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah
pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah
pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah
kehilangan keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh
orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri
mereka daripada memerangi orang- orang yang lalim.
Muhammad
bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya
terdapat perintah Ilahi untuk memerangi orang-orang yang lalim dan
mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi.
Allah SWT berfirman:
"kerana
itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barang siapa yang
berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka
kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu
tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang
lemah baik laki-laki, wanita-wanita mahupun anak- anak yang semuanya
berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami
penolong dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad
bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT
berkenaan dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka
berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu
telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil,
dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at- Taubah:
111)
Bacalah
ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT.
Betapa tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka,
padahal jiwa tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah
milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia
membeli harta milik-Nya yang khusus dengan syurga dan bagaimana Allah
SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia
memberitahu mereka bahawa urusan memerangi orang-orang lalim dan
orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas orang- orang
Islam. Allah SWT
telah memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana
Nabi
Isa diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-
lembaran atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun
diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata kepada
Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah,
dan kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi
menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun
sebagai akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah
dan hina itu hancur yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah
SWT dan mereka membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya berperang,
padahal peperangan itu merupakan tanggung jawab mereka dan tugas
mereka yang harus mereka emban sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah
esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin
Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta
mendapatkan kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan
kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak
dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk warna kulit tertentu
atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan
kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu
dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu
mencapai tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan
terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia semuanya di hadapan
Allah SWT.
Adalah
salah jika ada orang yang menganggap bahawa Islam hanya memperhatikan
aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah
lembar-lembar jawapan yang akan di koreksi di hari akhir. Ia adalah
ujian dan tempat percubaan bagi manusia agar manusia mengetahui
apakah ia layak untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah
diberikan kepada Adam. Atau apakah ia justru layak untuk jadi
bahagian dari tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman
Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya
manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan
hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan kematian
ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah pergelutan.
Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar manusia
menyedari siapa di antara mereka yang terbaik amalnya. Tentu
pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan
itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia
agar manusia mengetahui, dan pengetahuan yang paling penting adalah
pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat
manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal
balasan yang akan di terimanya secara sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang
kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan kehidupan di atas bumi
dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi dengan
kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak untuk hidup.
Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya dan
hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh
Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat
risalah-risalah yang dulu semuanya adalah tauhid dan mempertahankan
kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan menyerahkan jiwa dan
anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam Islam adalah
ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna keadilan
yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahawa
karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali bahagian ini perlu
diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada
esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari
agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada
setiap agama terdapat karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk
yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di situ agama
itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi
misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana penyembahan berhala
di kalangan orang-orang Mesir kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani
Israil yang suka membangkang dan kerana itu, karakter utamanya adalah
ketegasan (as- Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh dengan
fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari
tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah agama Yahudi
selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil yang
memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama
mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkaman orang-orang
Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat
dari orang-orang Mesir. Oleh kerana itu, orang- orang Masehi
bertanggungjawab untuk melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara
yang berbeza sesuai dengan perubahan keadaan. Cara tersebut adalah
menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata kerana kekuatan orang-orang
Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara
keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah
dengan cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan
pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang- orang Masehi
memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang
disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan
kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai agama
yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk diterapkan di muka
bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di
dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh kerana itu,
agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter
itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman
tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan cinta
adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu
tolok ukur untuk dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau
untuk dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi
tolok ukur bagi orang-orang yang memilki perasaan yang tinggi atau
budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan
universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang
berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang menyeluruh
dan barometer yang akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan dan
pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada firman Allah
SWT:
"Allah menyatakan
bahawasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar